Rumus Umum Kapital


(pernah terbit di laman himahiunhas.org 7 Maret 2016, disimpan di blog ini untuk diabadikan)

Kapitalisme, sistem ekonomi pasar bebas yang mulai muncul sejak era revolusi industri, kini membentuk realitas ekonomi-politik yang sungguh kompleks. Hari ini kita menyebutnya sebagai neoliberalisme. Namun tulisan ini tak akan membahas tentang kompleksitas kapitalisme ataupun bagaimana ciri-ciri neoliberalisme. Saya menganggap bahasan berikut adalah titik penting bagi siapapun yang mau belajar banyak hal tentang kapitalisme. Pertanyaan sederhana yang ingin coba dijawab adalah apa itu Kapital sendiri, kata dasar dari Kapitalisme yang sering orang sebut-sebut itu (dalam diskusi, tulisan atau orasi).

“Tapi orang udik darimana yang masih mau bicara rumus umum, bukankah di masa ini mahasiswa mestinya sudah lincah bicara neolib, Frankfurt School, Henri Lefebvre atau David Harvey?”.

Sebenarnya saya tidak yakin jikalau pertanyaan “apa itu kapital?” atau “apa itu kapitalisme?” dilontarkan kepada orang-orang yang sering mendiskusikan Marx atau orator-orator aksi di bawah flyover, semuanya bisa dengan memuaskan menjelaskannya. Yang dikatakan Marx dan Engels bukan sekedar ungkapan perasaan haru dan tersentuh oleh kondisi buruk yang dialami buruh-buruh pabrik. Apa yang diutarakan Marx dan Engels adalah sebuah ilmu. Sebuah analisis kelas yang menjelaskan realitas penindasan dalam sistem kapitalisme, cara kerjanya bahkan sampai jalan keluar yang bisa ditempuh. Maksud saya, kita tidak betul-betul paham yang mana kapitalisme kalau hanya sampai pada merasa iba pada nasib buruh yang minim upahnya lagi panjang jam kerjanya. Atau ikut aksi karena merasa yakin ada yang salah dengan keadaan dimana sebagian kecil orang yang memegang saham perusahaan hidupnya berlimpah harta di atas penderitaan sebagian besar masyarakat kecil yang bekerja mengeluarkan keringat.

Karena marxisme adalah ilmu, maka kita dituntut secara ilmiah menjelaskan realitas yang terjadi atas fenomena-fenomena tadi secara faktual. Karena statusnya sebagai ilmu pulalah yang membedakannya dengan jenis pengetahuan lain seperti mitos atau agama. Marxisme sependek saya tahu bukan dogma yang butuh diimani, melainkan science yang terbuka terhadap kritik atau pembaruan manakala kelak dijumpai analisanya tidak relevan lagi dengan kenyataan material. Namun sekali lagi yang akan dijumpai di tulisan yang singkat dan serampangan ini hanya rumus umum untuk memahami apa sebenarnya kapital itu, sebagai pemahaman awal yang menurut saya perlu diperhatikan.

Marx tidak mengartikan kapitalisme mula-mula sebagai ideologi atau paham ekonomi tertentu. Dalam Das Kapital Kapitalisme diartikan oleh Marx sebagai suatu tatanan sosial yang ditopang oleh kapital sebagai relasi sosial. Artinya kapitalisme itu benar-benar suatu realitas objektif kehidupan. Yang dimaksud kapital sendiri bukan sekedar modal, seperti yang ditemui dalam ilmu ekonomi ortodoks (sebelum Marx), melainkan sebagai suatu relasi sosial pokok yang menopang keberadaan tatanan sosial yang disebut kapitalisme.

Rumus umum kapital, sebagaimana dipahami Marx lagi-lagi berbeda dari ilmu ekonomi umumnya (ilmu ekonomi ortodoks). Pertama, tentang komoditi, menurut Marx bukan sekedar barang. Suatu barang dapat menjadi komoditi hanya jika ia berada dalam suatu relasi sosial tertentu yang tak lain adalah relasi sosial yang diperantarai oleh pasar.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita menemui dapat menemui banyak sekali relasi-relasi sosial. Misalnya orangtua-anak, paman-keponakan, kakek-cucu, kakak-adik atau juga senior-junior. Ayah dan anak masing-masing adalah kategori sosial dari relasi sosial ayah-anak yang sifatnya internal. Maksudnya ayah hanya dapat dipahami dengan keberadaan anak dan sebaliknya. Kalau kita mendefinisikan ayah, senantiasa di dalamnya ada definisi tentang anak. Begitupun dengan relasi sosial lainnya. Kakak hanya dapat dipahami dalam keberadaan kategori sosial lain yaitu adik. Pengandaian ini dinamakan relasi internal antara kakak dan adik atau orangtua dan anak (pemahaman ini ditemui dalam filsafat idealisme Hegelian). Lalu, di dalam pasar kita akan memasuki kategori sosial tertentu. Entah itu kita sebagai pembeli, atau sebagai penjual. Relasi jual-beli ini juga merupakan relasi sosial.

Dalam rumus umum kapital, uang (U) menjadi kapital jika berada dalam relasi sosial tertentu. Uang tidak dapat menjadi kapital pada dirinya sendiri, olehnya itu uang (U) harus direalisasikan menjadi komoditi (K1). Dalam aktifitas produksi komoditi ini terdiri dari sarana produksi (bahan baku, mesin, tanah dan lain-lain) dan tenaga kerja. Jadi suatu barang atau mesin hanya menjadi kapital jika ia berada dalam suatu proses yakni proses produksi. Demikian juga dengan tenaga kerja, ia harus dalam proses produksi. Nah, proses produksi ini harus menghasilkan komoditi yang baru (K2). Misalnya kayu harus diubah bentuknya menjadi kursi. Maka kursi dalam hal ini dapat disebut sebagai komoditi baru karena telah mengalami proses produksi. Tidak berhenti di situ, komoditi baru ini (K2) harus lagi diubah kembali menjadi representasi nilainya yakni uang (plus tambahan nilai). Jadi kalau kursi diproduksi dan dipakai sendiri di rumah maka ia bukan produksi kapital melainkan hanya produksi biasa. Hal ini karena tujuan kapital bukan untuk menghasilkan barang. Kursi harus kembali dijadikan uang maka keseluruhan proses dari awalnya hanya uang hingga jadi uang lagi disebut sebagai produksi kapital. Kapital dengan demikian adalah nilai yang berproses untuk memperbanyak atau memperbesar dirinya sendiri. Peralihan bentuk dari uang menjadi tenaga kerja dan sarana produksi, lalu dalam aktifitas produksi dipersatukan hingga menghasilkan komoditi baru dan diubah menjadi uang lagi disebut realisasi nilai kapital. Dan proses tersebutlah yang mula-mula kita pahami sebagai rumus umum kapital

Karena Marx mengartikan kapital sebagai suatu relasi sosial maka tentu akan ada kategori-kategori di dalamnya. Uang tidak mampu dengan sendirinya terbang ke pasar dan membeli sendiri sarana produksi maupun tenaga kerja. Maka uang harus dimiliki oleh manusia. Dengan ini muncullah kategori-kategori sosial di dalam pasar yang melekat pada manusia-manusia hidup.

Melihat rumus umum kapital di atas, maka setidaknya ada dua relasi sosial yang ditemui. Pertama, relasi jual-beli. Dalam relasi ini kapitalis diartikan sebagai orang yang punya uang dan membelanjakan uangnya pada tenaga kerja dan sarana produksi. Sedangkan kategori lainnya adalah penjual tenaga kerja dan sarana produksi. Kategori penjual dan pembeli lagi-lagi berelasi internal. Yang satu dapat dipahami melalui pengandaian keberadaan yang lainnya.

Kedua, terdapat relasi kelas. Relasi kelas ini dalam sejarah tidak persis sama dari masa ke masa. Di masa adanya pasar jaman Babylonia dan berabad-abad berikutnya, tuan berelasi dengan budak. Jadi bahkan kepemilikan diri budak lah yang dibeli oleh sang tuan. Budak sendiri adalah barang dagangan, bukan saja tenaga kerjanya. Lalu pada jaman feodal, tuan tanah berelasi dengan hamba penggarap. Si tuan tanah adalah yang menguasai tanah dan pekerja sedangkan hamba penggarap adalah yang dipekerjakan oleh tuan tanah. Kategori berikut yang muncul adalah pekerja upahan. Jadi ia adalah kelas pekerja yang dibeli tenaga kerjanya oleh kapitalis untuk satuan waktu tertentu, misalnya tujuh atau delapan jam kerja sehari. Tenaga kerja sendiri oleh Marx diartikan sebagai kemampuan fisik (lahiriah) maupun mental (kemampuan analisis) untuk mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Maka proletar juga termasuk para akuntan, administrator ataupun programmer, profesi-profesi yang secara tampilan tidak mirip dengan buruh pabrik yang biasa kita asosiasikan sebagai proletar. Pekerja upahan ini atau kemudian dikenal sebagai kelas proletar berelasi internal dengan kapitalis. Dalam konteks relasi sosial kelas ini, kapitalis diartikan sebagai kelas yang menguasai pekerja secara struktural melalui sistem pasar. Sedangkan kategori lainnya adalah pekerja yang diartikan sebagai kelas yang dikuasai oleh kapitalis.

Nah, pelajaran pertama yang kita peroleh adalah bahwa relasi sosial kapitalis dan proletar dalam masyarakat adalah relasi yang muncul secara historis dan tidak azali, artinya tidak serta merta ada sejak awal manusia ada. Dengan demikian pula ia tidak abadi melainkan dikontekskan oleh sejarah. Rumus umum kapital mendeskripsikan bahwa relasi sosial dalam masyarakat yang ditopang oleh relasi sosial kapital sifatnya struktural. Dalam masyarakat kapitalis, tentu ada kategori-kategori sosial lain misalnya kaum tani atau pedagang-pedagang kecil. Namun struktur yang paling pokok adalah struktur yang ditopang oleh relasi kapitalis dan pekerja.

Selanjutnya, diketahui rumus umum kapital dimulai oleh uang yang nantinya akan direalisasikan menjadi sarana produksi dan tenaga kerja dan seterusnya sampai menjadi uang lagi. Maka pertanyaannya adalah darimana asal uang ? Darimana asalnya nilai kekayaan yang awal untuk berlangsungnya produksi kapital. Secara personal, kekayaan atau uang bisa datang dari mana saja, dari warisan orangtua sampai uang hasil korupsi. Tapi secara struktural, Marx menjelaskan bahwa di masa kapitalisme sudah/sedang berlangsung, maksudnya saat sudah ada perusahaan-perusahaan dan penemuan teknologi produksi yang makin berkembang, maka uang didapatkan dari akumulasi kapital. Jadi dari produksi komoditi-komoditi yang terealisasi menjadi uang, di situlah kapital terus menerus memperbesar dirinya. Artinya kelas kapitalis lah yang diuntungkan dari hasil akumulasi ini. Tapi sebelum akumulasi kapital berlangsung, harus ada kondisi yang memungkinkan distribusi uang atau kekayaan berada di segolongan orang tertentu yang memungkinkan pula lahirnya kelas kapitalis maupun pekerja. Karena seandainya saja semua orang punya jumlah kekayaan yang sama maka tak bakal ada namanya kelas pekerja yang menjual tenaganya. Kondisi tersebut yang disebut akumulasi primitif. Yakni akumulasi kekayaan yang mula-mula dan kemudian akan dijadikan kapital.

Tentang pertanyaan ini, ekonom klasik Adam Smith berpendapat bahwa akumulasi primitif dimungkinkan karena konon katanya ada segolongan manusia yang rajin bekerja dan hemat, sementara segolongan lain malas bekerja lagi boros. Keadaan ini yang memungkinkan segolongan orang yang rajin dan hemat tersebut memiliki kekayaan dibanding segolongan lainnya. Marx lalu membantah argumen Smith, meskipun dikatakannya bahwa kondisi tersebut memang mungkin saja terjadi. Mungkin memang beberapa orang kaya sekarang adalah keturunan orang rajin. Marx mengajak untuk melihat sejarah faktual tentang akumulasi primitif. Menurut Marx ada dua kondisi yang mengakibatkan akumulasi primitif terjadi yaitu kolonialisme dan pengkaplingan tanah (diistilahkan dengan “Enclosure”).

Pertama, kolonialisme dianggap sebagai syarat akumulasi primitif jelas karena kebanyakan misi dari para bangsa kolonial semisal Inggris, Belanda, Prancis atau Spanyol di jaman merkantilisme tentu adalah mengeruk kekayaan alam bangsa atau wilayah yang dijajahnya. Misalnya hasil perkebunan, tambang ataupun rempah-rempah. Dari situ kekayaan diperoleh elit-elit politik atau bangsawan dari negara penjajah.

Kedua, adalah enclosure atau pengkaplingan tanah yang khususnya terjadi di Inggris. Pada jaman feodal di Inggris ada dua macam tanah yakni tanah manorial dan tanah bersama yang mulanya tak boleh dikapling menjadi milik orang-orang tertentu (apa yang diistilahkan sebagai common). Tanah manorial adalah tanah yang diserahkan oleh raja kepada bangsawan, militer atau tuan tanah bersama dengan hamba penggarapnya untuk dikelola. Hasilnya sebagian harus diserahkan kembali ke raja. Saat itu ada anggapan umum, lebih tepatnya doktrin bahwa raja adalah wakil Tuhan di muka bumi dan tanah pun bukan milik individu-individu tertentu. Pada abad ke-18 dan 19, dengan adanya undang-undang agraria yang diterapkan di Inggris pada waktu itu, tanah-tanah milik komunal (common) kemudian diambilalih oleh swasta atau Marx sebut dengan borjuis-borjuis kota yang ingin mengolahnya untuk lahan perkebunan dan peternakan domba.

Maka dari dua faktor yang disebut Marx dapat dilihat jelas bahwa asal-usul kapital adalah bermodus perampasan. Selain didahului oleh fenomena penjajaan, seiring akumulasi berlangsung pula pengusiran-pengusiran, penggusuran-penggusuran. Itulah pelajaran kedua yang kita peroleh, Marx mengutarakan bahwa (dan mungkin saja dibantah) asal-usul kekayaan yang kemudian dijadikan kapital bukan dari segolongan orang-orang rajin dan hemat, melainkan dari kolonialisme dan pengkaplingan-pengkaplingan tanah milik komunal.

Setelah itu mari kita menengok kembali rumus umum kapital tadi. Dapat kita lihat bahwa tujuan akhir para kapitalis bukanlah memproduksi barang maupun jasa, melainkan memperbesar nilai dari yang telah diinvestasikan atau dengan kata lain akumulasi nilai. Jadi bukanlah kebaikan hati yang mendorong pabrik-pabrik beroperasi dan menghadirkan keberlimpahan barang di tengah-tengah masyarakat. Akumulasi nilailah yang dikehendaki para kapitalis. Namun karena nilai itu sifatnya abstrak, ia harus mewujud dalam masyarakat dalam bentuk komoditi-komoditi (barang maupun jasa) yang konkrit dan dapat diperdagangkan.

Maka dari itu, persoalan pokok yang dihadapi kapitalis adalah bagaimana merealisasikan kembali nilai yang terdapat pada komoditi-komoditi yang diproduksinya. Sederhananya bagaimana barang-barang yang diproduksi laku di masyarakat. Nah, karena itulah tendensi kapitalis adalah meningkatkan produktifitas. Jadi semakin banyak barang yang dihasilkan dengan curahan tenaga kerja seminimal mungkin akan berakibat pada menurunnya nilai atau harga barang tersebut. Harapannya dengan menurunkan harga adalah barang-barang yang ada di pasar akan semakin cepat laku dan dengan demikian nilai yang dikejar semakin cepat terealisasi kembali ke diri kapitalis. Hal lain yang mengkondisikan ini juga karena adanya persaingan di antara sesama kapitalis yang membuat masing-masing kapitalis hendak meningkatkan produktifitasnya yang berarti kemampuan menjualnya. Realitas ini pula yang ditemui pada kapitalisme kontemporer sekarang. Jika dulunya aktifitas ekonomi diyakini terdapat aras produksi (sektor riil), maka pemahaman pada aktifitas ekonomi kapitalisme sejak awal terletak pada aras sirkulasi (pada persoalan perdagangan). pelajaran ketiga yang bisa kita peroleh dari rumus umum kapital.

Saya rasa uraian tentang kapital di atas masih sangat sederhana, ya namanya saja rumus umum. Membaca lebih banyak lembar-lembar Das Kapital atau mendengar lebih banyak ceramah-ceramah Martin Suryajaya atau Dede Mulyanto pasti akan lebih melengkapi pemahaman kita tentang realitas kapitalisme kontemporer yang kian canggih. Mari membaca lagi.
(17 januari 2016)

Komentar

Postingan Populer