Rio Haryanto dan Pertunjukan Bagi Kelas Menengah



(pernah terbit di laman himahiunhas.org 21 maret 2016, saat itu lagi riuh-riuhnya pemberitaan Rio Haryanto)

Nama Rio Haryanto dalam beberapa pekan terakhir kian menjadi santer terdengar di media massa. Keberhasilannya promosi ke arena balapan Formula1 (F1) menjadikannya kini makin populer. Rio yang kini tergabung dalam tim balap asal Inggris Manor Racing akan berkompetisi bersanding dengan nama-nama beken dalam dunia balap jet darat semisal Lewis Hamilton dan Sebastian Vettel.
Seketika fenomena ini membangkitkan rasa kebanggaan “rakyat Indonesia” karena Rio adalah pembalap pertama dari negeri dua ratusan juta orang ini yang tampil di ajang bergengsi F1. Rasa frustasi “masyarakat” akan dunia persepakbolaan tanah air yang kacau seakan-akan terobati oleh kabar dari prestasi satu pemuda ini. Nasionalisme kembali bisa menemukan salurannya lewat harapan akan mulusnya penampilan Rio kelak.
Ditambah lagi cerita bertemunya dua pejabat tinggi negara, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga dengan Menteri BUMN untuk membahas dana sponsor yang dibutuhkan Rio untuk tancap gas mobil balap yang nominalnya mencapai lima belas juta euro (setara 231 miliar Rupiah.[i] Sempat juga ada kabar usulan Menpora untuk memotong gaji PNS demi memenuhi dana tersebut. Dahsyat! (meskipun ketua DPR sudah menolak ide dari si Menpora: silakan baca sendiri rentetan beritanya di media-media)[ii]. Kesemua itu seolah menjadi hal yang lumrah saja. “Siapa yang tidak bangga dengan hadirnya Rio di F1?”
Tapi, apakah betul semua masyarakat atau 230 juta rakyat Indonesia segitu sayangnya dengan pemuda ganteng yang satu ini ? saya rasa tidak juga. Hari ini, apa yang disebut oleh kalangan intelektual sebagai kelas menengah dalam masyarakat kian hari kian mencuat eksistensinya. Ekspresi kegembiraan, kebanggaan atau apapun namanya, terhadap kesuksesan Rio jadi “atlet elit” balap mobil sesungguhnya hanya ekspresi segelintir kalangan masyarakat. Tidak salah lagi, merekalah penghuni golongan kelas menengah itu. Golongan yang di era informasi ini, terkukuhkan keberadaannya lewat media-media sosial yang makin nge-trend sebagai ruang publik.
Kelas menengah ini adalah mereka yang punya waktu luang untuk menyaksikan tayangan F1. Sederhananya jika mau dilihat lebih konkrit, kelas menengah adalah golongan masyarakat yang sudah tercukupi kebutuhan hidup dasarnya. Hal itu karena mereka sudah punya pekerjaan yang cukup layak. Punya pekerjaan layak dikarenakan punya pendidikan yang lumayan bagus. Kelas menengah sesungguhnya adalah kelas pekerja juga (proletar) namun dengan kondisi ekonomi yang cukup baik sehingga tidak merasakan kontradiksi langsung dengan kelas borjuis, elit, majikan yang memberinya upah.
Lalu, jika pendidikan bisa menjadi ukuran, seberapa banyak dari penduduk Indonesia yang tingkat pendidikannya mencapai perguruan tinggi ? Melihat data yang tercantum dalam tulisan Mohamad Zaki baru-baru ini di laman rumahkiri.org[iii], saya mendapati pada tahun 2014 hanya sekitar 7,5 persen atau sejumlah tidak sampai 14 juta orang yang mampu menamatkan pendidikan tinggi (diploma I,II,III, akademi dan universitas) dari sekitar 183 juta penduduk berusia di atas lima belas tahun. jadi sebenarnya kelas menengah itu tidak besar-besar amat jumlahnya, bahkan di Indonesia bisa dibilang amat minim. Mereka seperti banyak hanya karena gaduh di media-media sosial. Mereka seperti selalu seragam dalam hal konten obrolan disebabkan oleh apa saja yang lagi hot di media. Orang-orang ini akan merasa ketinggalan jika ada isu baru dan ia belum memberi komentar melalui akun-akunnya, yang sesungguhnya isu yang dilempar di media sosial itu seringkali mengikut pada isu-isu yang dikelola media borjuis (surat kabar nasional, televisi). Alhasil afeksi yang tertanam dan opini yang berkembang di kelas menengah ini juga seturut apa yang diinginkan kepentingan perusahaan media.
Lantas, kalau mau dipikir secara lebih sehat, ketimbang menteri repot pikir uang 231 miliar buat seorang pembalap, bukankah akan lebih bijak dan membanggakan jikalau menteri juga mau lebih repot pikirkan masalah ekonomi-politik yang kronis di negeri ini. Saya cukup yakin, kaum miskin kota yang tergusur, kaum tani yang dirampas tanahnya, buruh-buruh kasar di pabrik, yang tiap 1 mei turun ke jalan memprotes nasibnya, yang mana jumlahnya lebih besar berlipat-lipat dibanding kelas menengah tadi, tidak punya waktu untuk merasakan sensasi hiburan modern seperti Formula1. Lah mereka belum selesai dengan urusan perut apa urusannya dengan nonton balapan mobil. Lagipula, orangtua sejak kecil sudah sering menasihati kalau di jalanan itu banyak bahaya (?).

Komentar

Postingan Populer