Menjumpai Masyarakat Satu Dimensi Buatan Kapitalisme
(pernah terbit di laman himahiunhas.org Desember 2015, disimpan untuk diabadikan)
Cukup sering saya dan beberapa kawan mendengar diskusi
dengan Kapitalisme sebagai topik pembahasannya. Sebagai anak HI, memahami
seperti apa wujud rupa kapitalisme tentu sebuah keharusan. Di era pesatnya
teknologi produksi dan komunikasi global, semua orang seakan-akan punya tempatnya
masing-masing dalam menikmati hasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan
Kapitalisme sebagai sebuah mode produksi, biasa juga disebut sistem ekonomi
plus aspeknya pada ranah politik dan sosiokultural, adalah faktor determinan
yang mempengaruhi aspek-aspek keseharian hidup kita.
Setelah membaca “Taman Keberagaman : Mengenal
Kapitalisme” yang ditulis Ignasius Priyono beberapa hari lalu, sontak saya teringat
perbincangan yang pernah terjadi dengan beberapa kawan. Kami yang kerap membuka
indoprogress.com kagum dengan cara para
penulisnya bersahut-sahutan gagasan dalam tulisannya, baik itu afirmasi,
kritikan ataupun sindiran. Kami membayangkan bisa melakukan hal sama dengan ide
seadanya yang ada di kepala. Bisa membuat ide-ide tersebut mengudara bebas dan
terbaca via perangkat elektronik masing-masing adalah hal yang cukup menyenangkan.
Oleh karena itu, mengingat banyak sekali mendengar Kapitalisme dalam topik diskusi,
saya ingin mengutarakan sepintas gagasan Herbert Marcuse tentang Kapitalisme.
Tentu tulisan ini bukan review
keseluruhan pemikiran Marcuse namun hanya hasil pembacaan yang terbatas namun
berusaha kritis dan bisa menjelaskan satu-dua kondisi keseharian kita yang
sekali lagi, didominasi kapitalisme sebagai suatu sistem.
Herbert Marcuse, lahir di Berlin 19 Juli 1898,
adalah tokoh sentral dalam pendirian Frankfurt
School yang terkenal dalam tradisi ilmu sosial kontemporer. Bersama Max
Horkheimer dan Theodor Adorno, mengembangkan suatu aliran pemikiran yang dikenal
sebagai teori kritis. Pemikiran Herbert Marcuse yang mungkin paling signifikan tertuang
dalam karyanya One Dimensional Man.
Pasca revolusi industri perkembangan zaman berikut
masyarakat yang menghidupinya seakan-akan menandakan kemajuan peradaban.
Bagaimana tidak, produksi besar-besaran memunculkan keberlimpahan jumlah barang
di tengah-tengah masyarakat (affluent).
Semua itu berkat penemuan teknologi yang mendorong pabrik-pabrik dapat
beroperasi semakin efisien. Apa yang dulunya dikerjakan manusia perlahan-lahan
mampu diambil alih oleh mesin-mesin buatan manusia. Pakaian, kendaraan, media
hiburan, perangkat komunikasi, alat berat konstruksi bangunan, semua adalah buah
hasil kecerdasan teknologi.
Namun Marcuse melancarkan kritik atas kondisi
masyarakat industri modern yang seperti ini. Watak kegilaan pada produktifitas
kerja yang tinggi sebagai ukuran kemajuan mengantarkan masyarakat menuju ketundukan
pada teknologi. Kondisi demikian menciptakan masyarakat yang berpikir dan
bertindak dalam satu dimensi. Kondisi ini dianggap sebagai krisis dan
kemerosotan masyarakat. Kesadaran kritis yang harusnya dimiliki para buruh
industri tenggelam di tengah akumulasi keuntungan ekonomi yang mengalir deras
menuju segelintir jumlah orang (kaum borjuis). Kaum pekerja (buruh) larut dalam
sistem yang ada. Mengapa dan bagaimana itu terjadi ?
Menurut Marcuse, ada tiga ciri masyarakat industri.
Pertama, masyarakat berada di bawah kekuasaan prinsip teknologi. Kedua, masyarakatnya
menjadi irasional secara keseluruhan. Ketiga, masyarakatnya berdimensi satu dan
inilah yang paling fundamental.
Pertama, prinsip yang dipegang adalah semua upaya
manusia harus diarahkan untuk memperlancar dan memperluas produksi. Saat ini
teknologi sudah merambah ke segala aspek kehidupan kita dan dengan itu kemajuan
manusia seakan-akan dilegitimasi.
Kedua, produktifitas masyarakat lewat teknologi
bercampur dengan sisi destruktifnya. Perlombaan senjata menjadi fenomena yang lumrah
dilakukan negara-negara. Anggaran militer terus ditingkatkan atas nama pertahanan
dan keamanan nasional. Kekuatan produktif maka dari itu justru diarahkan pada
sesuatu yang memunculkan permusuhan. Bahkan kita juga mungkin akan senang jika
tahu negara kita punya banyak pasukan yang kuat dan terlatih, atau punya
anggaran militer tertinggi, atau sekalian punya senjata nuklir. Betapa secara
tidak masuk akal potensi kehancuran justru diinginkan.
Ketiga, dalam masyarakat industri modern tujuan
utama yang menggerakkan tiap individu termasuk buruh-buruh sesungguhnya adalah
melanggengkan status quo, yang tak
lain adalah sistem kapitalisme. Di dalamnya tersembunyi penindasan yang tak
disadari oleh mereka yang tertindas. Marx memprediksi bahwa kontradiksi
internal kapitalisme akan membawa pada revolusi yang dilakukan kaum pekerja.
Hal ini karna ada kesadaran kaum pekerja akan ketertidasan pada kapitalisme
liberal klasik. Kaum buruh pekerja sadar dan mengeluhkan jam kerja yang
panjang, upah yang minim serta pekerjaan yang berat dan membosankan.
Namun konflik kelas yang dijelaskan Marx tak berlaku
dalam masyarakat kapitalisme lanjut. Mereka yang tertindas dibuat tak sadar
akan ketertindasannya. Hal ini karena pemenuhan kebutuhan buruh telah
terpenuhi. Di balik pesatnya produksi secara massal, mereka telah menjadi buruh
yang bermobil, bermotor, punya televisi, ponsel (mungkin termasuk juga akun di
media-media sosial) dan fasilitas lainnya yang sama dimiliki kaum borjuis. Sensasi
menjadi borjuis terasakan lewat pemuasan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Akibatnya
adalah kaum pekerja tidak lagi revolusioner.
Di balik pemenuhan kebutuhan materil akibat
berlimpahnya hasil produksi, tentu masih terdapat relasi eksploitatif. Konsumsi
yang digembar-gemborkan terutama lewat media sebenarnya adalah wajah dari
kepentingan kelas tertentu yang dipaksakan kepada keseluruhan masyarakat. Model
alienasi yang dijelaskan Marx memang berbeda dengan alienasi yang dialami
pekerja dalam sistem kapitalisme lanjut ini. Mereka terkekang dan tak punya
pilihan selain memastikan kebutuhannya terus terpenuhi. Mereka menjadi toleran
bahkan cenderung menginginkan keberlangsungan sistem yang ada.
Dalam kondisi demikian, menurut Marcuse harapan akan
revolusi dan perubahan sosial tak bisa disandarkan pada kaum buruh. Pencarian
sosok revolusioner harus kepada golongan-golongan yang termarjinalkan, yang
merasakan penindasan tersebut. Adalah kaum muda, cendekiawan dan mahasiswa yang
tetap kritis terhadap kondisi sosial-budaya di sekitarnya dan mau memberontak
terhadap kemapanan sistem.
Sedemikian berpengaruh pemikiran Marcuse antara
1960-an dan 1970-an menjadi salahsatu pemicu revolusi dan kerusuhan mahasiswa
1968 di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Namun demikian sangat bukan berarti
tulisan ini ingin mengartikulasikan perasaan heroik pada kaum cendekia atau
mahasiswa. Bukan juga mengajak pada penentangan terhadap kemajuan teknologi
atau mengecam kepemilikan barang-barang mewah oleh masyarakat. Bukan!
Tulisan ini hanya berusaha mengajak kita sama-sama
berpikir kembali apa yang membuat penindasan dalam kapitalisme tetap inheren
dari masa ke masa lewat pengamatan fenomena-fenomena keseharian. Seperti kata
Marcuse, adalah kesadaran kritis akan penindasan yang bisa mendorong kita pada
perubahan sosial. Sementara itu penindasan-penindasan kecil sampai mahabesar
yang terjadi setiap harinya mungkin sudah tidak teramati dan terasakan oleh
kita sebagai bagian masyarakat.
Referensi
:
Herbert
Marcuse. 1964. One-Dimensional Man :
Studies In The Ideology of Advance Industrial Society. London : Routledge.
Agus Darmadji. Herbert Marcuse Tentang Masyarakat Satu Dimensi, diakses dari http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/download/1027/917
pada 25 November 2015 pukul 01.10 wita.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, berilah masukan yang positif :-)