Ada Apa dengan Ruang dan Waktu Senggang di Kampus ?
(pernah terbit di laman himahiunhas.org 14 januari 2016, disimpan di blog ini untuk diabadikan)
Beberapa waktu lalu kita mendengar bahwa birokrasi kampus
melakukan pelarangan terhadap aktifitas malam hari di sekretariat lembaga
kemahasiswaan. Kabarnya tindakan pengusiran mahasiswa-mahasiswa dari sekretariat-sekretariat
lembaga melibatkan aparat non-kampus: Polisi dan Tentara. Saya tidak sempat menyaksikan
ini dengan mata kepala sendiri maupun mengalami sendiri rasanya diusir oleh
polisi atau tentara. Namun sepertinya memang terjadi dan nyata melihat aliansi
mahasiswa dari berbagai fakultas melakukan demonstrasi ke gedung rektorat
beberapa pekan lalu. Bagi yang belum dengar kabar ini, saya juga tidak akan
menjelaskan detail kejadiannya. Silakan tanya kepada kerabat mahasiswa yang
sering mengunjungi kampus di malam hari sampai menginap. Saya rasa mereka yang
senang berdiskusi malam, rapat organisasi atau sekedar online menggunakan wi-fi di
kampus akan protes dengan kejadian ini.
Hal tersebut menambah lagi cerita tentang makin gregetnya birokrasi kampus untuk membuat
lesu-lemah-letih para mahasiswa yang aktif berorganisasi. Mulai dari ribetnya
mengurus perizinan kegiatan-kegiatan lembaga (meskipun kegiatan tersebut sudah
jelas manfaatnya), skorsing pengurus lembaga yang bikin pengkaderan atau yang
konyol larangan berambut gondrong. Ada-ada saja aturan yang dibuat untuk
menyulitkan dan memojokkan mahasiswa-mahasiswa terutama mereka yang bergelut di
organisasi.
Kira-kira apa ada hubungannya dengan kapitalisme yang
sempat terbahas ? Iya, kapitalisme selalu punya kaitan dalam aspek-aspek kehidupan
modern. Apalagi dalam institusi pendidikan atau kampus yang posisinya sangat
sentral. Sebagai tempat yang dipercaya mencetak manusia-manusia pilihan dan
siap jadi tenaga kerja ahli, kontrol atas kampus berarti kontrol atas
manusia-manusia yang menghabiskan sebagian besar waktu di dalamnya. Kapitalisme
yang dihidupi oleh industri hendak menjadikan kampus-kampus untuk menghasilkan
lulusan-lulusan yang menopang kebutuhan industri.
Paulo Freire sudah mengingatkan bahwa pendidikan yang
diselenggarakan di institusi-institusi pendidikan sejatinya tidak netral. Ia
memuat kepentingan kelas dominan sambil membuang hal-hal lain yang
berseberangan. Kepentingan utama yang diusung tentu adalah menjaga eksistensi
sistem yang sedang dominan. Makanya mencegah tumbuh dan berkembangnya
gagasan-gagasan alternatif yang kritis penting untuk melanggengkan hegemoni
kapitalisme sebagai sistem dominan.
Kontrol atas kampus ditandai dengan produksi pengetahuan
yang dilakukan secara represif melalui kurikulum dan metode pembelajaran yang cenderung
menjauhkan pelajar dengan realitas sosialnya dan hanya berorientasi
keterampilan praktikal sesuai kebutuhan industri. Maka kelas-kelas perkuliahan
rata-rata membosankan dan pengetahuan yang diberikan abai terhadap fakta-fakta
sosial eksploitasi yang sedang terjadi (misalnya penggusuran yang lagi marak
terjadi, sepertinya tak dibahas di ruang-ruang kelas karena tidak termasuk
dalam kurikulum). Ditambah lagi realitas pendidikan tinggi identik dengan
kesenjangan akses memperoleh pendidikan seperti yang ditemukan di Perguruan
Tinggi Negeri berbadan Hukum saat ini. Hal ini karena pendidikan sebagai komoditas
yang mahal harganya serta eksklusif.
Berangkat dari mengenali kondisi pendidikan yang
dikonstruk lewat pelembagaan sedemikian bermasalah, dapat dibaca posisi organisasi
atau lembaga kemahasiswaan di kampus-kampus. Organisasi dapat (idealnya)
menjadi tempat tumbuhnya gagasan-gagasan alternatif untuk membaca kondisi
sosial dan memberi kontribusi pada upaya emansipasi atas kondisi tersebut.
Seperti kata Marx, tidak cukup hanya menafsirkan realitas tapi lebih lanjut
untuk mengubahnya.
Dengan membaca sejarah, organisasi dan pengorganisasian
mungkin bisa disebut sebagai kunci pergerakan mahasiswa di tiap lini sejarah
bangsa. Paling memorable dan sering
disebut-sebut tentu keberhasilan mahasiswa era 1998 menumbangkan orde baru.
Sampai di sini mudah disimpulkan bahwa untuk menginterupsi kampus
menyelenggarakan perkuliahan bagi peserta didik dengan tidak progresif dan
tidak emansipatif, berorganisasi (intra-kampus) adalah salah satu (jika bukan
satu-satunya) pilihan tepat untuk mengembangkan diri. Dengan berorganisasi kita
akan mengenal lebih pokok-pokok pemikiran tokoh-tokoh seperti Freire, Marx,
Gramsci atau Tan Malaka yang mana sulit dijumpai (jika bukan tidak sama sekali)
di kelas-kelas perkuliahan. Meskipun pada awalnya semua mahasiswa yang masuk
kampus mungkin tak satupun yang meniatkan ingin menjadi pengurus organisasi. Itu
sebabnya saya katakan berorganisasi adalah aktifitas waktu senggang jika
dianggap berkuliah adalah prioritas lebih dulu, namun tidak berarti
berorganisasi tidak lebih penting.
Potensi lembaga-lembaga kemahasiswaan tersebut dikenal
betul oleh mereka yang kita golongkan sebagai kelas dominan, kapitalis, yang
wataknya muncul lewat konfigurasi birokrasi dan aturan-aturan dalam kampus.
Cara menekannya adalah melemahkan bibit-bibit dan tempat bersemainya kritisisme
tadi. Organisasi kemahasiswaan semakin dibatasi aktifitasnya.
Makna yang dapat diberikan kepada dua kata pada judul di
atas yakni “ruang” dan “waktu senggang” adalah satuan untuk mengukur aktifitas
organisasi kemahasiswaan. Ruang yang dimaksud adalah keleluasaan berkegiatan.
Makin minim keleluasaan dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan produktif di
organisasi seperti diskusi, pelatihan atau event-event
kampanye sedikit banyak turut dipengaruhi oleh aspek waktu. Jadi, salah satu
jawaban mengapa mahasiswa kurang produktif di organisasi adalah ia tidak punya
waktu banyak atau lebih tepatnya dibuat tak punya waktu banyak. Dapat dirasakan
ketika jam perkuliahan terisi mulai pagi hingga sore, maka waktu luang untuk
aktifitas organisasi hanya efisien di waktu libur atau sore hingga malam.
Dengan menyempitnya rentang waktu di kampus, maka implikasi logis adalah
berkurangnya produktifitas.
Aktifitas organisasi tentu identik dengan diskusi
membicarakan program-program pengembangan anggotanya dan hal tersebut tentu
harus dengan tatap-muka, tak bisa mengandalkan “rapat virtual” di media sosial.
Membahas rencana harus melalui dialektika yang utuh.
Fenomena larangan jam malam berikut pengosongan
sekretariat lembaga di kampus bagi mahasiswa yang disebutkan di awal adalah
satu dari usaha menyempitkan ruang gerak mahasiswa dari segi batasan waktu. Meskipun
beberapa akan menjawab bahwa ruang-ruang kampus mungkin saja bisa dibawa
keluar, menurut saya pasti menemui tantangan serius. Sejak dulu kampus memang
sengaja dikonstruksi oleh pegiat-pegiat lembaga sebagai sentrum kegiatan
akademik dan organisasi mengingat distraksi yang tersebar di seluruh penjuru di
luar kampus misalnya pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan.
Ihwal pelarangan jam malam ini bukan hal yang baru, namun
mengundang aparat represif masuk kampus adalah terobosan mengesankan oleh
birokrasi kampus hari ini. Konon katanya mirip model represi di jaman orde baru.
Mungkin birokrasi khawatir pengurus lembaga sudah kelewat perkasa untuk
diberantas sampai tentara dan polisi harus masuk kampus.
Jadi,
jawaban pertanyaan di atas adalah ada tantangan serius terhadap eksistensi ruang
dan waktu berorganisasi di kampus. Masih banyak isu dan permasalahan terkait
pendidikan dan penyelenggaraannya di kampus-kampus. Misalnya bagaimana
memperjuangkan demokratisasi kampus terkait kebijakan-kebijakan yang represif
atau memperjuangkan transparansi pengelolaan kampus terutama dari segi
keuangan. Mulai dari mana ? Mari memikirkannya bersama-sama dan
mendiskusikannya lagi.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, berilah masukan yang positif :-)