AEC dan Intelektualitas Mahasiswa



(Pernah terbit di buletin cognitio Himahi Fisip Unhas Maret 2015, disimpan untuk diabadikan) 

            2015 adalah tahun bagi momentum ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara untuk menerapkan suatu kebijakan yang kita kenal dengan nama Asean Community. Satu dari tiga pilarnya adalah Asean Economic Community akan diterapkan mulai akhir tahun ini. Program ini dianggap sebagai upaya pemerintah masing-masing negara untuk memajukan kawasan ASEAN sebagai suatu pasar tunggal dan basis produksi serta menjadikan ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan langkah-langkah dan mekanisme baru untuk memperkuat implementasi inisiatif-inisiatif ekonomi yang telah ada, mempercepat integrasi kawasan dalam sektor-sektor prioritas, mempermudah pergerakan para pelaku usaha tenaga kerja terampil dan berbakat dan memperkuat mekanisme institusi ASEAN.[1]
            Suatu cita-cita mulia mendengar AEC (Asean Economic Community atau Komunitas Ekonomi Asean) diproyeksikan sebagai program yang ingin mengejar kemakmuran bagi masyarakat dalam menerapkan pasar bebas dan persaingan dalam aktifitas ekonomi kawasan melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat liberalisasi, deregulasi dan privatisasi perdagangan dan investasi. Namun dari sisi lain kita juga dapat melihat ini sebagai bentuk pelepasan peran pemerintah dalam urusan perekonomian dimana hajat hidup orang banyak yang harusnya ditanggung penguasa kini diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang aktornya tentu adalah perusahaan-perusahaan yang dikelola individu-individu yang saling bersaing memperoleh keuntungan ekonomi.
Paradigma pembangunan berbau liberalisasi bukan hal asing lagi, hadirnya rezim perdagangan dunia World Trade Organization sejak 1995 dengan aturan-aturan yang diratifikasi di negara-negara yang tergabung di dalamnya termasuk Indonesia telah menjadi pondasi kebijakan liberalisasi ekonomi global. Sayangnya hasil yang kita saksikan sejauh ini dari kebijakan liberalisasi tersebut justru adalah ketimpangan dan kemiskinan yang makin menjadi masalah di negeri ini. Hal itu karena sistem membuka pasar melalui kebijakan perdagangan bebas dan pengurangan hambatan hanya menguntungkan sebagian kecil pihak sementara banyak pihak di sisi lain tak mampu bersaing di arena kompetisi. Hal ini menjadi bukti bahwa jargon-jargon ekonomi liberal dan kepercayaan pada persaingan bebas dalam hal memajukan kehidupan sosial dari sektor ekonomi tidak berhasil dalam praksisnya. Angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi yang seringkali digembar-gemborkan di media massa berbanding terbalik dengan realita kehidupan masyarakat terutama yang kita bisa saksikan di perkotaan. Kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan belum dapat dientaskan secara memadai oleh kebijakan-kebijakan pemerintah.
AEC pun punya spirit dan cara kerja yang sama dengan kebijakan WTO di skala global hanya saja penerapannya melingkupi skala regional Asia Tenggara. Arus modal, barang, bahkan manusia sebagai tenaga kerja juga akan dijamin dalam pasar regional yang terbuka dan minim hambatan tarif maupun non-tarif. Jadi sudah barang tentu AEC sebagai suatu kebijakan pemerintah akan berpengaruh langsung maupun tak langsung pada cara kita hidup dan mencari penghidupan sehari-hari. Kritik terhadap lahirnya AEC mulai dari sudut pandang ekonomi politik sampai filsafat seyogyanya dilancarkan utamanya oleh para intelektual dan akademisi yang berpihak pada kemaslahatan bersama.
Tulisan ini tak akan mengulas bagaimana penerapan AEC mempengaruhi kesejahteraan semua orang yang ada di negeri ini. Tapi kita tentu butuh sedikit menelisik dan menimbang-nimbang pengaruh AEC ini sebagai sebuah ‘kebijak(sana)an’ terhadap kehidupan keseharian kita sebagai mahasiswa.
Di era sekarang universitas mungkin tergambar di kepala anak-anak SMA yang sebentar lagi lulus sekolah sebagai sebuah tempat dengan gedung-gedung berisi kelas dan laboratorium megah dimana pendidikan akan dijalani lebih menyenangkan karena jurusan bisa dipilih sesuka hati sesuai minat, bakat dan prospek terhadap lapangan kerja yang menjanjikan. Semua pelajaran sekolahan tak harus dijalani jika memang tak disenangi.  Kuliah akan dijalani 4 tahun atau kalau bisa lebih cepat demi segeranya anak kuliahan ini meraih pekerjaan atau lanjut berkuliah lagi. Jika terlalu lama di kampus malah bisa-bisa dicap orangtua sendiri dan tetangga sebagai mahasiswa tidak berprestasi, apalagi jika nilai IPK tidak cum laude.
Sekilas pandangan bahwa perkuliahan yang hanya diprioritaskan untuk mendapatkan gelar akademik lalu menjadi modal untuk bekerja mungkin tak dapat disalahkan. Bukankah kebutuhan paling mendasar manusia adalah menjaga kelangsungan hidup dalam hal ini kebutuhan fisiologis (makan, tempat tinggal, pakaian) dan semua itu bakal terpenuhi dengan kemampuan ekonomi seseorang, artinya kebutuhan primer seseorang adalah punya penghasilan atau bekerja. Jadi memang suatu keharusan bagi para mahasiswa untuk berkuliah secara disiplin, telaten dan lulus dengan nilai baik agar mudah dapat kerja dan dapat menguasai pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya.
Dari sudut pandang lain, mahasiswa adalah insan intelektual yang mengandalkan ilmu serta spirit jiwa muda sebagai kekuatannya. Ia harus bergelut dengan ilmunya, melakukan diskusi, bersosialisasi dengan dunia luar agar tak terasing bagai berada di menara gading, sibuk belajar namun tak tahu apalagi berbuat sesuatu terhadap kondisi sosial di luar dirinya. Memahamkan mahasiswa tentang idealisme semacam itu menjadi fungsi hadirnya lembaga-lembaga kemahasiswaan di kampus. Melalui kaderisasi, lembaga kemahasiswaan harus membentuk mahasiswa yang sadar akan tanggungjawab keilmuan yang dimilikinya, menjadi aktivis dan belajar di ruang-ruang selain perkuliahan. Dengan demikian ia lebih mampu mengembangkan diri dan kritis terhadap realita sosial di sekitarnya. Kira-kira seperti itulah intelektualitas mahasiswa yang dimaksud.
Secara nyata mahasiswa dituntut fokus berkuliah dan secara ideal ia butuh aktif belajar di organisasi. Dua hal tadi sepatutnya dapat berjalan beriringan secara sinergis. Bahkan saya percaya bahwa sekarang kritisisme dan intelektualitas seorang mahasiswa justru lebih mampu diciptakan lewat aktifitas-aktifitas dalam ruang lembaga kemahasiswaan. Realitas menunjukkan adanya pragmatisme mahasiswa saat ini yakni hanya mementingkan perolehan nilai IPK yang tinggi tanpa kesadaran akan pentingnya ilmu dan keberpihakan nilai atas ilmu tersebut, tanpa menghayati proses pendidikan yang sebenar-benarnya pendidikan. Lebih-lebih jika sudah salah kaprah bahwa berorganisasi hanya membuang-buang waktu dan tenaga sekaligus menghambat mahasiswa lulus cepat. Realita ini menunjukkan tantangan serius hari ini untuk menjaga kritisisme di kalangan pelajar-pelajar dalam kampus.
Intelektualitas mahasiswa dapat tetap dijaga jika gagasan bahwa mahasiswa punya tanggungjawab keilmuan dalam menanggapi atau menyikapi realitas sosial ditangkap dan menjadi pemahaman umum di kalangan mahasiswa. Bahwa dengan aktif berlembaga kemampuan analisis sosial mahasiswa akan jauh lebih maju ketimbang hanya duduk di kelas selama 3 sampai 4 jam sehari. Softskills yang mumpuni juga akan dilatih lewat kegiatan-kegiatan organisasi yang berorientasi capacity building. Tapi jika sebaliknya gagasan pragmatisme yang dominan dan diterima maka intelektualitas mahasiswa akan tergerus hari demi hari. Tugas lembaga mahasiswa lah untuk melakukan penyadaran tersebut lewat kaderisasi dan mereproduksi gagasan tentang idealisme mahasiswa secara terus-menerus.
Berangkat dari pentingnya intelektualitas mahasiswa beserta cara-cara ia ditumbuhkan selama ini, kita dapat melihat bagaimana AEC sebagai suatu kebijakan akan mampu mempengaruhi pertarungan gagasan tadi. Salahsatu konsekuensi dari Asean Economic Community adalah kompetisi bebas antar negara ASEAN untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yang siap untuk memenuhi kebutuhan industri. Di Indonesia khususnya, universitas lah salahsatu tempat dihasilkannya tenaga kerja tersebut. Banyaknya kuantitas anak muda di Indonesia termasuk yang sementara terikat status sebagai mahasiswa tentu menjadi tantangan karena di era AEC lapangan kerja di Indonesia tak dijamin hanya tersedia bagi anak bangsa, tetapi dimungkinkan untuk menjadi lahan bagi tenaga-tenaga kerja dari berbagai negara di ASEAN. Sementara itu kenyataan yang ada adalah kualitas tenaga kerja dan calon tenaga kerja di Indonesia memang relatif masih jauh dari kondisi siap untuk berkompetisi memperebutkan lapangan kerja.
Mahasiswa tentu tak selamanya berstatus mahasiswa dan berada di kampus. Ia harus terjun ke dunia kerja. “Bersainglah anak muda!” seperti itulah kira-kira seruan bagi mahasiswa kini untuk memperebutkan lapangan pekerjaan setelah lulus. Secara eksplisit, mahasiswa diajarkan bahwa dunia memang tidak bisa tidak, penuh dengan persaingan dan hanya ada sedikit waktu memikirkan orang lain atau setidaknya paham sedikit tentang idealisme. Kebutuhan utama untuk kelangsungan hidup mahasiswa sebagai manusia biasa harus tetap terpenuhi, caranya raihlah penghasilan dengan bekerja.
Spirit persaingan bebas ala ekonomi liberal makin merasuk kedalam relung gagasan idealisme kemahasiswaan yang selama ini berusaha dirawat lembaga-lembaga kemahasiswaan di kampus. Kampus kini dituntut untuk punya proses pembelajaran yang hanya berorientasi pada dihasilkannya tenaga-tenaga kerja kompetitif yang siap pakai dalam era liberalisasi ekonomi dan idealisme bukanlah termasuk indikator kapasitas seorang tenaga kerja. Masa studi hendak dipercepat dan otonomi Lembaga Mahasiswa sebagai lembaga kader diusik dan dibatas-batasi Alhasil manusia yang dibentuk kampus akan jadi pragmatis bukannya kritis, berjiwa kompetitif semata tanpa solidaritas dan kepedulian sosial. Hal tersebut sejatinya secara nyata menantang pencapaian intelektualitas mahasiswa yang kita pahami. Padahal ukuran intelektualitas seorang mahasiswa harusnya adalah kepekaan dan kritisisme terhadap kondisi sosial dan seberapa mampu ia menjadikan ilmunya jadi bermanfaat bagi sesama.



[1] Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN. 2009.  Jakarta: Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Hlm. 7.

Komentar

Postingan Populer