Menyejarahkan Fenomena “Publikasi Privasi” Media Sosial
(lagi-lagi pernah numpang nongol di laman himahiunhas.org 10 Februari 2016)
Tidak mungkin tidak, semua dari kita pernah menulis
status atau membuat postingan di satu atau beberapa media sosial. Pekerjaan
semacam itu sama sekali bukan sebuah hal yang eksklusif. Tidak perlu menjadi
pejabat atau konglomerat untuk dikatakan pantas melakukan tindakan yang kini
semakin gencar dilakukan pegiat-pegiat media sosial seperti Facebook, Twitter
sampai LINE.
Di media sosial, kita dengan mudah menemukan konten-konten
privat dari mulai foto-foto menu makan siang, ekspresi kejengkelan karena lama mengantri
di kantor BPJS, girangnya punya kucing peliharaan, kata-kata mutiara, sampai,
akhir-akhir ini foto-foto sarjana (kebanyakan teman-teman SMA saya) yang baru
lulus lengkap dengan toganya. Disadari atau tidak, yang demikian adalah hal-hal
personal yang sifatnya remeh. Saya mengatakan ia remeh karena memang tidak berefek
pada terjadinya perubahan sosial apapun, seperti cita-cita para tokoh dan
ilmuwan revolusioner kritis. Postingan menu makanan tradisional di FB
seberapapun keterlaluan seringnya, tidak akan menurunkan pamor restoran cepat
saji yang telah lama jadi simbol ekonomi kapitalistik dalam masyarakat yang
konsumtif. Sama halnya dengan postingan lamanya mengantri di kantor BPJS tidak
akan memicu terjadinya pembaharuan total dalam manajemen birokrasi kantor-kantor
pemerintahan. Dan juga postingan kata-kata mutiara seberapapun maknawi dan ngeh-nya tidak bakal sampai menginspirasi para pembacanya jadi filsuf atau
sastrawan keesokan harinya. Sebaik-baik postingan yang inspiring, adalah yang ketika membacanya kita dibuat berujar “iyo tawwa”, atau “hmm ya ya ya” dan seburuk-buruk penulisan status adalah yang
responnya kira-kira adalah “epen kah?!”.
Semua orang suka mengetahui hal-hal yang unik dan indah,
menyukai cerita tentang kebahagiaan ataupun tentang peristiwa yang menyedihkan.
Mengobrol dengan anggota keluarga atau teman terdekat adalah hal yang
diperlukan tiap orang. Namun membuat cerita-cerita tersebut tersebar
segamblang-gamblangnya di depan publik adalah sesuatu yang lain. Kebiasaan
tersebut biasa dijustifikasi sebagai mukjizat dari kemajuan teknologi dan
kebebasan berekspresi yang jadi salah satu aspek hak asasi. Dan hal yang
demikian adalah penemuan abad 21. Orang-orang yang hidup dua atau tiga dekade
lalu sama sekali asing dengan habitus seperti itu. Mungkin saja kebiasaan
tersebut akan dianggap penyimpangan sosial oleh “orang-orang dulu” yang tidak
punya media baru seperti yang kita punya hari ini.
Maksud dari kata menyejarahkan pada judul di atas adalah
melihat fenomena kebebasan berekspresi (yang mewujud dalam publikasi-publikasi
privasi) pada konteks sosial yang lebih luas, pada pertautannya dengan sistem
sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung (pendekatan diakronik dalam ilmu
sejarah). Perlu tersampaikan bahwa tulisan berikut adalah usaha mengartikulasikan
ulang beberapa (tidak semua) gagasan pokok yang saya temui dalam tulisan Hizkia
Polimpung dan Priska Luvita dalam salah satu laman indoprogress. Judul tulisan ini pun saya kutip dari kalimat dalam
tulisan tersebut.
Subjek Pelaku Dramatisasi
dan Panggungnya
Sebelum
ke penjelasan teoritis seputar kondisi psikis para pemilik akun di media sosial
dan apa yang mengkondisikannya, mari coba perhatikan postingan berikut. Saya
mengambil salah satu status dan postingan yang dibuat oleh mantan orang nomor
satu di negeri ini, Pak SBY. Kebetulan saya berteman dengan beliau di FB (tidak
benar-benar berteman, karena beliau tidak/belum mengenal saya seperti saya tahu
beberapa hal tentang beliau).(mestinya ada gambar yang saya capture dari fb, tp ada kendala teknis yg saya malas buat utak-atik lagi, yaa intinyagambarnya tentang postingan akun pak SBY berisi status dan foto-foto beliau lagi berlibur bersama keluarga, imajinasikan saja..hehehe)
Nah, dengan melihat postingan di atas, saya menemukan
informasi bahwa ternyata salah satu kegiatan Pak SBY dan Bu Ani sekarang adalah
bermain dengan cucu-cucunya. Tentu kita sepakat bahwa hal ini cuma hal yang
remeh. Sebab mengetahui hal tersebut paling-paling hanya membuat iri karena saya
belum punya cucu, apalagi liburan bareng cucu. Saya tidak bisa tahu kesuksesan
masa kepemimpinan Pak SBY hanya dengan melihat postingan tersebut. Kalau
postingan Pak SBY saja dinilai remeh, bagaimana pula kadar remehnya
status-status maupun postingan remaja-remaja alay yang hobinya membeberkan tiap detil aktifitasnya (untuk
sekedar diingat, postingan Pak SBY tadi disukai oleh 134 ribu lebih akun). Faktanya,
kedatangan postingan-postingan seperti itu ke laman Facebook kita tidak bisa ditolak,
alih-alih mungkin kita tetap akan membacanya. Saya yakin sebentar lagi timeline anda akan sesak dengan
pengetahuan terkini tentang beragam cara melewatkan malam tahun baru.
Baik, untuk mendekati fenomena publikasi privasi ini, pendekatan
dramaturgi Erving Goffman dan psikoanalisis Jacques Lacan menyediakan
penjelasan tentang posisi subjek sebagai pemain drama dalam kehidupan sosial yang
merupakan panggungnya. Sebagaimana sebuah drama, yang menyajikan cerita dengan
alur tertentu sehingga dapat dimaknai sesuai nilai dan norma yang terkandung
dalam masyarakat, si pemanggung berharap mendapat pengakuan sosial dari
penontonnya. Semakin menarik suatu drama, maka akan semakin ia mendapat
perhatian dari penonton dan potensi pengaruh yang ia berikan juga akan semakin
luas. Dalam hal ini, aktifitas mengumbar hal-hal privat ke publik disebut
sebagai suatu dramatisasi. Media sosial adalah panggung itu. Menurut Lacan
ekspresi-ekspresi ini masuk ke ruang publik dengan membawa nilai sosial yang
terkandung di masyarakat supaya ia dapat diterima. Ruang publik betul-betul
menjadi panggung atas individu-individu yang boleh dikata narsistik memerankan
lakonnya sendiri. Subjek-subjek ini dalam perspektif Goffman, dalam panggung
sosial sedang memerankan suatu identitas. Tanpa drama yang dimainkan maka
identitas tidak akan muncul. Ia eksis hanya di atas panggung. Namun tidak
berarti tujuan dari dramatisasi ini adalah identitas, akan tetapi pada hasrat narsistik
untuk dikenal, diterima dan dicintai ketika sedang menemukan identitas dalam
perannya.
Karena identitas hanya diperoleh di atas panggung,
artinya identitas tersebut muncul dalam relasi-relasi sosial, antara subjek
dramatis (yang melakukan dramatisasi) dan penonton, dalam medium panggung,
relasi spasio-temporal. Di luar relasi ini, subjek tak mampu dikenali. Relasi
ini adalah syarat mutlak identitas. Siapakah penonton yang mana subjek berelasi
dengannya ? Bukan keberadaan penonton yang fundamental dalam kebermaknaan
identitas subjek, namun perhatian penonton. Menurut Lacan, penonton drama tadi
adalah subjek yang dibayangkan atau dengan kata lain hanya perlu hadir sebagai fantasi.
Artinya penonton tidak perlu benar-benar eksis/riil, sepanjang subjek dramatis
merasa ditonton, maka hasrat subjek dramatis menemukan objeknya..
Dalam fenomena publikasi privasi ini, akun-akun di media
sosial tak lain adalah para subjek dramatis, para pemanggung yang identitasnya
diketemukan hanya dalam relasinya dengan penonton. Perbuatan memposting adalah
lakon di panggung, disertai keyakinan bahwa ia disaksikan oleh penonton.
Semakin menarik postingan maka semakin terasa eksis lah sang subjek. Bagaimana kira-kira
ukuran keterpenuhan hasrat subjek dramatis terhadap objek ? Kita dapat
terjemahkan ini dalam fitur utama media-media sosial : Like, comment, share, reply atau retweet. Jadi, bisa dikatakan hasrat pada objek drama akun Pak SBY
sudah tersalurkan karena statusnya sudah dapat ratusan ribu Likes dan sekian banyak Comments. Ia merasa dikenal, diperhatikan
dan dicintai banyak orang.
Demokratisasi ke Dramatisasi
Kita harus mulai dari asumsi dasar bahwa sistem kapitalisme
neoliberal tidak hanya berkutat pada persoalan ekonomi ; produksi, distribusi
dan konsumsi barang dan jasa. Dalam
ranah politik, kapitalisme neoliberal selalu berdampingan dengan ide tentang demokrasi.
Dalam ekonomi, jaminan ruang gerak individu untuk berkompetisi diyakini akan
membawa pada kesejahteraan bersama, sekaligus meniadakan dominasi negara yang dianggap
mengekang. Di ranah poitik, janji-janji utama yang ditawarkan dalam kehidupan
demokrasi adalah kebebasan dan partisipasi.
Michel Foucoult berbicara tentang konsep homo economicus sebagai sebuah tipe subjektifitas
yang tercipta dalam masyarakat demokrasi neoliberal. Logika pasar tentang kompetisi
terinternalisasi dalam diri homo
economicus, ia adalah mahluk rasional yang mempertimbangkan untung-rugi
dalam bertindak sama seperti praktik berinvestasi dalam kapitalisme neoliberal.
Lalu apa yang diinvestasikan oleh homo
economicus dalam masyarakat demokrasi ? jawabannya adalah diri mereka
sendiri. Kapital adalah kedirian, kepemilikan atas diri sendiri dan pilihan
bebas yang terjamin dalam demokrasi.
Hubungannya dengan dramatisasi, adalah perspektif ini
membawa kita memahami tindakan-tindakan bebas sang subjek homo economicus untuk merasakan sensasi partisipasi sebagai cara
untuk aktualisasi diri, aktualisasi kapital dalam hal-hal yang bahkan sangat
remeh. Kebebasan bertindak (misalnya bebas berjejaring dengan siapa saja, bebas
membeberkan privasi kapan saja) adalah sesuatu yang akan rugi ketika tidak disalurkan.
Karena kepentingan bertindak adalah untuk peningkatan diri, investasi diri dan
partisipasi diri maka hal ini menjadi privatisasi atau dalam arti lain segala
sesuatunya dianggap urusan pribadi. Ruang publik menemukan signifikansinya
dalam rangka berperan seolah-olah pasar dalam ekonomi neoliberal. Ruang publik termasuk
media sosial harus dimanfaatkan untuk kepentingan investasi diri (dengan ini
kapital akan aktual dan tidak tersia-siakan). Hasil dari investasi dimana
aktualisasi diri di media sosial adalah kerja, adalah respons afektif berupa
perhatian, popularitas, pujian atau simpati.
Penutup
Bentuk media baru yang hadir di tengah-tengah kita
sekarang, dalam logika kapitalisme, tetap harus dicurigai sebagai sumber penciptaan
nilai yang akan terserap ke golongan tertentu. Darimana nilai tersebut mengada
? Yakni dari potensi afektif subjek dramatis sebagai manusia. Adalah kemampuan
berekspresi dalam setiap hal sepanjang hidupnya yang dikemas via media sosial
sebagai suatu arena aktualisasi diri. Keuntungan finansial perusahaan Facebook
dan Twitter bukan rahasia merupakan perolehan materil dari pemanfaatan nilai afektif
para pengguna media sosial melalui keberadaan perusahaan iklan yang menganggap
media sosial sebagai pasar potensial. Di saat bersamaan kelangsungan drama yang
dimainkan para pengguna media sosial sebagai subjek dilestarikan melalui upah
berupa efek-efek afektif yang ia damba-dambakan.
Akhirnya, yang diharapkan mula-mula adalah timbulnya
kesadaran kelas, yang menurut pembahasan kita, “kelas dramatis” yang dirampas
nilai lebihnya berupa potensi afeksi. Lebih jauh, mereduksi kendali rezim
neoliberal yang sudah hadir di setiap aspek kehidupan, penting agar
perlahan-lahan tercipta masyarakat yang bebas dari perampasan terhadap hakikat
hidup kita sehari-hari yang seharusnya otonom dan penuh makna.
Bacaan :
Hizkia Polimpung dan Priska Luvita. 2015. “Bangkitnya Kelas Dramatis: Tentang kehidupan psikis homo economicus
neoliberal di era media baru (studi kasus: pengguna Facebook dan Twitter
Indonesia)” diakses dari http://indoprogress.com/2015/04/bangkitnya-kelas-dramatis-tentang-kehidupan-psikis-homo-economicus-neoliberal-di-era-media-baru-studi-kasus-pengguna-facebook-dan-twitter-indonesia/
pada 30 Desember 2015 pukul 03.12 WITA.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, berilah masukan yang positif :-)