Memahami Cinta Lewat Sepakbola dan Beberapa Klarifikasi

[Bagian I]
Franklin Foer punya buku “Memahami Dunia Lewat Sepakbola: Kajian Tak Lazim tentang Sosial Politik Globalisasi”, saya punya artikel ini.

Tulisan ini sedikit mencoba mengulik topik yang bagi beberapa teman dekat saya pasti menarik. Atau mungkin bagi banyak anak muda topik ini tak pernah tak menarik untuk dibahas. Yup, topik itu adalah cinta. C, I, N, T, A (kata the Bagindas). karena itu saya akan bercerita melalui sepakbola, satu hal juga yang mendekatkan saya dan beberapa kawan, sekaligus menjadi kegemaran kami. Mungkin dengan sepakbola, satu hal ini bisa lebih dipahami.

Kurang lebih, tulisan ini adalah respon dari pengakuan kawan Khaerul Akmal Ashar a.k.a (also known as) abinya dapid, yang katanya “mencintai MU”. Dalam tulisannya juga ada beberapa hal yang kiranya perlu saya klarifikasi, sebelum durjana-durjana seperti Sirton, Bill atau Echa salah menafsirkan dan terjadilah penistaan terhadap statement kawan Akmal. Beberapa kisah berikut mungkin lebih banyak diambil dari Manchester United, dikarenakan klub tersebutlah satu-satunya yang saya cintai dari lubuk hati terdalam. Sumpah.

Dalam sepakbola, ada banyak kisah yang dapat dijadikan analogi dan pembelajaran dalam usaha menjalin suatu hubungan percintaan. Kalau cinta didefinisikan dalam sebuah kosakata loyalitas, pastilah kisah dari Fransesco Totti paling representatif untuk menjadi analogi. Totti yang baru-baru ini pensiun setelah membela hanya satu klub, AS Roma, selama 25 tahun, adalah bukti dari cinta sejati pemain ke klubnya. Bagaimana tidak, banyak tawaran yang datang untuk Totti membela klub lain selama karirnya. Apa yang terjadi? Totti menolak semuanya, sekalipun dia bisa jadi punya gelar dan uang jauh lebih banyak dari yang bisa ia dapatkan di Roma. Seperti itulah cinta jika ia adalah loyalitas. Totti tak pernah berpaling ke lain hati. Karna itu pulalah Totti dicintai Romanisti di seluruh dunia.

Loyalitas mungkin dapat pula dicerminkan dari tokoh-tokoh sepakbola seperti Javier Zanetti di Inter, Ryan Giggs di MU,Casillas di Real, dan Wenger di Arsenal. Untuk kasus terakhir, pelajaran ekstra mungkin bisa diambil. Meskipun orang-orang terdekatmu sendiri mencaci hubunganmu, tetaplah optimis dengan apa yang ada di depan. Baru-baru ini, ditengah terpaan badai gosip dan caci maki dari fans Arsenal maupun fans bola seluruh dunia (ditambah hashtag WengerOut yang nge-trend), hubungan asmara Arsenal dan Wenger berlanjut dengan perpanjangan kontrak dua tahun. Hal yang bisa kita petik adalah kepercayaan. Banyak yang yakin Wenger akan dipecat segera setelah Arsenal gagal finish di posisi empat (zona nyaman mereka), tapi ternyata kepercayaan yang diberikan pihak klub lebih dalam dari samudera hindia dan lebih tebal dari sepatunya…ah sudahlah. Nah, di lain sisi, Wenger juga tidak boleh menyianyiakan kepercayaan tersebut, ia harus membalasnya dengan posisi empat di tabel klasemen liga inggris musim depan. Seperti itulah hubungan mesti dijaga.

Sebelum lanjut, saya tersanjung kawan Akmal menulis sebagai penghormatan terhadap saya. Akan tetapi, saya agak terpojok dengan beberapa rangkaian kalimatnya. Kawan akmal menyinggung tentang kedekatan asal daerah yang akhir-akhir ini mendekatkan kami. Maksutnya apa coba dengan kata “akhir-akhir ini”, bukannya dari dulu. Saya tak ingin komentar lebih jauh tentang ini. Saya anggap saja kami senang dengan daerah satu sama lain. buktinya Akmal sudah sempat berkunjung ke daerah saya dan menikmati indahnya pantai Liang Kareta.

Saya juga tercengang dengan kemampuan kawan Akmal mengkalkulasi secara presisi seringnya saya menghabiskan malam minggu dengan (hanya) menonton bola. Tapi angka 80 % yang ia sebutkan seakan-akan mengejek saya secara implisit. Tepat di kalimat sebelumnya ia mengatakan “sepakbola bisa menjadi penyemangat hidup pemuda yang putus cinta”. Mungkin kawan akmal mau bilang kalo angka tersebut berbanding lurus dengan kesemenjanaan kisah cinta yang saya alami, saya tidak tahu persis. Ini hanya dugaan. Tapi toh saya tidak merasa demikian. Maksud saya kehidupan percintaan saya baik-baik saja. Tidak juga sih, sudahlah.*

Oke cukup intermezzonya.
Kalau cinta adalah kerja keras, dedikasi dan pengorbanan, saya bisa mengajukan Wayne Rooney sebagai role-model untuk mengajari Gufron dan Aufar arti cinta yang elegan. Mengapa? Rooney adalah kapten Manchester United saat ini, didatangkan dari Everton ketika masih belia pada tahun 2004. Tiga belas tahun karir Wazza di Old Trafford, Rooney sudah memenangkan semua gelar mayor yang mungkin diraih MU di level klub. Mulai dari gelar liga inggris, piala FA, piala liga (dulu carling, sekarang EFL cup), liga champions, liga eropa dan piala dunia antar-klub. Sekarang, Rooney menjadi pencetak gol terbanyak MU dalam sejarah dengan 253 gol melewati torehan Bobby Charlton, suatu raihan yang menurut saya tak akan bisa dicapai pemain MU manapun sampe beberapa dekade kedepan. Rooney tak pernah menjadi pemain terbaik dunia, ataupun top scorer liga, tapi penampilan impresifnya selama ini menghadirkan kesuksesan bagi klub dan dirinya.
Rooney selama karirnya sudah bermain dengan banyak rekan di lini depan MU, mulai dari van Nistelrooy, mantan terindah MU Cristiano Ronaldo, Berbatov, Chicarito, van Persie sampai Martial dan Zlatan Ibrahimovic. Di satu sisi, hal itu menunjukkan kualitas premium dari seorang Rooney untuk menampilkan yang terbaik meski dipasang dengan siapapun. Ini juga berarti kerja keras dari Rooney untuk menjaga performanya. Namun tak jarang (terutama sejak 2012) Rooney tidak menjadi pilihan utama untuk lini serang MU. Menghadapi hal itu, Rooney tetap berjuang dan berusaha menunjukkan kemampuannya dihadapan publik teater impian. Kadang ia dibangkucadangkan, padahal statusnya adalah kapten tim. Namun Rooney tetap punya pengertian bahwa hal itu dilakukan pelatih demi tim. Sekaligus memberi kesempatan kepada pemain muda.

Hubungan Wayne Rooney dan MU adalah sebuah kisah yang elegan. Pesan buat Aufar dari cerita ini adalah kadang kau tidak menjadi prioritas, tapi selama kau melakukan yang terbaik, kau pantas bangga akan hal itu. Kemenangan tim adalah buah pengorbanan dan dedikasi individu. Maka dari itu kerja kerasmu haruslah menjadi bagian dari kebahagiaan doi. Percayalah dia akan mengingatmu (walau hanya) sebagai teman baik yang pantas akan suatu hal yang lebih besar. Sama seperti Rooney, sekalipun ia akhirnya pindah karena sudah tidak menjadi pilihan utama Mourinho, jutaan fans setan merah di seluruh dunia akan mencintainya dan mengenangnya sebagai striker terhebat di masanya. Sementar buat Gufron, ingatlah engkau, bahwa banyaknya partner Rooney di lini depan tidak mengamini bahwa kau boleh sering gonta-ganti odo’-odo’ (apalagi pacar). Sekali lagi, buat dek Aufar alias Parjo, lakukanlah yang terbaik semampumu. Kalau dia suka sama yang lain, sabar saja. Itu ujian, buktikan kualitasmu. Curhatlah dengan Afann dan belajarlah dari beliau.
Untuk mengakhiri bagian I ini, saya sepakat dengan kawan Akmal. Saya juga mencintai MU dan tidak pernah menyesal memilih MU. Bahkan, saya berani bilang bahwa tidak pernah ada pria yang pindah ke lain hati dari klub yang dicintainya. Saya belum pernah mendapati hal tersebut. Dalam sepakbola, pria yang mencintai klubnya selalu adalah pria sejati.
7 Juni 2017, 11 Ramadhan 1438 H.
*Buat kawan Akmal, titip salam sama adik. Eh adik-adik maksudnya. Saya tahu mereka sedang asyik-asyiknya berdiskusi sehabis dilantik jadi pengurus himpunan ; )


[Bagian II]
 
Tulisan ini masih adalah upaya lanjutan saya menjawab judul di atas. Di bagian I, saya sudah berusaha mengantar pembaca lewat kisah Fransesco Totti, Arsene Wenger dan Wayne Rooney. Kali ini, saya akan menjelaskan bagaimana kisah transfer pemain bisa menjadi pelajaran yang sangat cocok buat memahami apa itu cinta. Dengar baik baik, dek Aufar dan dek Wira.

Saya akan menggunakan fenomena Paul Labile Pogba sebagai analogi memahami cinta itu. Ed Woodward (Chief Executive Klub Manchester United) setahun lalu membuat dunia sepakbola eropa dan dunia geger dengan geliat MU di bursa transfer. Keinginan yang kuat mengembalikan MU di level permainan tertinggi tidak tanggung-tanggung membuat om Ed rela memecahkan rekor transfer pemain sepakbola yang selama tujuh tahun dipegang Cristiano Ronaldo. Yup, MU mendatangkan Paul Pogba dari Juventus seharga 89 Juta Poundsterling atau hampir 1,5 Trilliun Rupiah. Nominal tersebut kalau dipakai beli cendol buat buka puasa, tidak habis biarpun dikonsumsi satu kecamatan seumur hidup berpuasa.

Harga tersebut rela ditebus MU buat gelandang 23 tahun setelah Pogba (yang merupakan mantan didikan akademi MU) tampil sensasional bersama Juventus dan menghabiskan empat musim bersama klub raksasa italia tersebut meraih berbagai gelar domestik. Kita tidak perlu terburu-buru ngomong soal penampilan Pogba setelah berseragam setan merah. Tapi apa yang bisa dek Aufar dan dek Wira petik dari kisah Pogba? Kecintaan seseorang kepada pujaan hatinya bisa membuatnya melakukan apa saja asalkan sang pujaan hati menjadi miliknya. MU rela menghabiskan dana beli cendol se-kecamatan buat buka puasa seumur hidup hanya demi seorang gelandang (dan bukan pemain tipe goal getter). Tapi maumi diapa kalo namanya cinta ces. Kalau dalam istilahnya Gufron, MU harus all-in untuk menang dalam perburuan menggaet Pogba dari kejaran Real Madrid dan Barcelona. Kira-kira seperti itulah perumpamaannya. Klub berburu pemain sama dengan kisah dek Wira mengejar adik. Bedanya, MU sukses memperkenalkan pemain ke teater impian. Sementara dek Wira hanya sukses memperkenalkan adik di insta-story satu-dua kali dan setelah itu tinggal air mata. Hikss.

Di samping itu, kita tidak lupa bahwa pemain prancis bernama Pogba yang dibeli mahal MU itu, adalah mantan pemain didikan akademi MU. Bahkan Pogba adalah bagian dari skuad MU di musim 2011–2012. Sayang saja, Alex Ferguson yang saat itu masih menangani MU, mengambil keputusan (yang selanjutnya disesali) untuk “membuang” Pogba. Ya, Pogba datang ke Juventus dari MU dengan gratis alias free transfer.

Nah, dek Aufar dan dek Wira, saya mau terangkan bahwa siapapun yang pernah menyia-nyiakanmu di tempo hari, buatlah ia membayar mahal keputusannya. Buktikan bahwa dirimu tak pantas diabaikan. Jangan malah larut dalam kesedihan yang berkepanjangan seperti panjangnya rentang masa Liverpool puasa gelar liga.

Kalau dek Aufar dan dek Wira tak pernah kembali bersama doi layaknya Pogba dan MU, minimal bersinarlah dengan yang lain. Coba ingat ketika de Bruyne dibuang Chelsea dan setahun kemudian dibeli mahal oleh klub Manchester biru lalu tampil gemilang. Atau Lukaku yang dibuang oleh Chelsea (lagi) dan tampil fantastis bersama West Brom dan Everton. Mau contoh lagi pemain buangan yang bersinar di klub lain? Aubameyang di jual murah AC Milan pada 2011. Auba lalu jadi top scorer Bundesliga di saat Milan kini jadi medioker. Intinya, bersinarlah dimana pun hatimu berlabuh. Persoalan cinta memang menemukan salah satu momen tersulitnya, ketika seseorang dipaksa Move on. Tapi, sepakbola tak pernah kekurangan kisah Move on yang sukses. Jadi, dek Aufar dan dek Wira, belajarlah.

:-)
Tulisan ini juga akan menyampaikan beberapa klarifikasi buat beberapa hal dalam tulisan “Unconditional Love” milik Andi Rivaldy atau Afann sapaan manjanya.
Pertama, final liga champions musim 2008–2009 itu dimenangkan Barcelona, bukannya MU (tentu untuk mengoreksi ini saya tak perlu nonton kanal youtube, Fann. Saya ingat kok). Saya yakin yang dimaksud Afann adalah final musim 2007–2008. Nah, kalau saat itu MU yang juara mengalahkan Chelsea-nya Gufron lewat drama adu penalti. Meskipun dalam hati saya masih ragu apakah Andi Gufron saat itu sudah jadi penggemar Chelsea. Saya agak curiga sampai sekarang dia cuma fans karbitan. Pasalnya, Gufron tidak pernah atau jarang begitu getol melihat Chelsea bermain. Seringkali, dia lebih memprioritaskan game clash royale di tabnya ketimbang menyaksikan Hazard, Kante, Cahill dan kawan-kawan bertanding. Apalah arti cinta kalau tanpa prioritas. Entahlah, hanya Gufron yang tahu persis. Seperti kata Afann, ini hanya prasangka saya yang tidak berhak menghakimi Gufron yang baru-baru putus cinta (?). Eh….

Tapi koreksi di atas bukanlah yang utama dari poin saya. Poin saya menyasar hal yang lebih fundamental dari tulisan Afann, yakni pada gagasan utama tentang “cinta tak bersyarat” yang ia ajukan.
Afann menulis “ …klub sepakbola tidak pernah menuntut apa-apa dari kita. Perkara anda mau beli kaos atau merchandise asli, tahu betul seluk-beluk klub, mereka tidak pernah mempermasalahkannya.” Saya pikir itu tidak sepenuhnya benar. Secara ekonomi politik (yang mana hal ini jarang sekali disadari oleh fans sepakbola kebanyakan), klub bola harus punya supporter di seluruh dunia. Untuk itu, klub pasti aktif dalam upaya menggaet popularitas demi pemasukan yang tinggi. Deretan daftar klub-klub terkaya (MU, Real Madrid, Barcelona, Bayern Munich dst) berbanding lurus dengan tingkat popularitas klub tersebut dalam hal ini angka/jumlah fanbasenya di seluruh dunia. Barcelona, Real Madrid dan Manchester United berturut-turut adalah tiga klub dengan fansbase terbesar di seantero jagat. Jadi memang sepakbola tak bisa dipisahkan dengan industri dan kapitalisme yang berkembang.

Mustahil klub seperti MU atau Real Madrid bisa digdaya secara finansial kalau hanya mengandalkan pemasukan dari tiket stadion. Berikut saya detailkan bagaimana klub bola meraup untung tiap musimnya. Ada tiga sumber utama pemasukan klub; Matchday (penjualan tiket dan konsumsi dalam stadion), commercial (sponsor dan penjualan merchandise), dan broadcasting (hak siar televisi). Pada musim 2014–2015, pendapatan MU berasal dari sisi komersial sebesar 196 juta pounds, sisi broadcasting sebesar 107 juta pounds dan sisi matchday sebesar 90 juta pounds. Di musim yang sama, klub asal inggris lain, Burnley mencatatkan pendapatan dari sisi komersial hanya 4 juta pounds dan hak siar tv hanya 66 juta pounds. Nampak jelas bahwa dalam sepakbola modern sisi komersial adalah figur utama.
Kesimpulannya, cinta seorang remaja bernama Hari Darmawan bersama jutaan fans MU lainnya terejawantahkan dalam kerelaan membeli Jersey MU dan konsistensi menonton pertandingan MU lewat saluran televisi. Bagi klub sepakbola, Cinta menuntut adanya konsumsi, secara sadar ataupun tidak. Sementara bagi Afann, Cintanya kepada MU “tak-bersyarat” (mungkin). Yakinlah, Fann, jikalau cinta jutaan fans sepakbola ditransmisikan lewat televisi dan jersey yang kamu pakai. Kalau kamu dan saya tidak beli jersey asli, si emyu nya mah bukannya legowo-legowo saja. Tapi karna Hari dan yang lainnya sudah memenuhi harapan itu. Anyway, MU mencintai kita semua kok. Buktinya MU sampai sekarang masih tetap berusaha memenuhi ekspektasi fans nya dengan menghadirkan pemain-pemain top (Sebut saja, Victor Lindelof dan Alvaro Morata- “bakal resmi”) sembari melancarkan upaya propaganda dan marketing lewat berbagai media.

Tapi tulisan ini tak bermaksud menjadi ulasan ekonomi politik. Bagi Afann, Fiqri atau Akmal yang mungkin tertarik dengan bahasan ini saya sarankan melihat “The Wealth Gap” dari saluran uMAXit football di youtube, sumber dimana saya mencatat angka-angka di atas.
Baiklah, terakhir, cita-cita itu tidak pernah betul-betul mutlak, Fann. Sejak kecil saya punya banyak cita-cita; astronot, pengusaha perkebunan, dosen, peneliti, pemain bola, sampai yang terkini filsuf. Tapi dinamika sejarah membuat saya harus menemukan keseimbangan antara memperjuangkan cita-cita saya dan atau menyesuaikan diri. Momen-momen determinan seperti lulus SNMPTN dan masuk HI otomatis menghapus cita-cita saya dari menjadi astronot. Lahir di Indonesia, secara meyakinkan mengeliminasi hasrat saya untuk menjadi pemain bola terkenal. Dan sebagainya.

Cinta, bukanlah hal yang bisa langsung disimpulkan melalui ilmu pasti dan eksakta. Selalu ada konteks sosial dibalik munculnya perasaan cinta dalam hati dan pikiran Echa (pengumpulan maba), Afann, Bayu, Asrul, Gufron (teman angkatan), Akmal (teman sekampung), Fadhil Batman (pengurus BEM), Ryan (pengurus HIMAHI), atau Sirton (relasi kekeluargaan lintas angkatan). Keberadaan sosial mengondisikan kesadaran individu (baca: materialisme dialektis), tapi ingat kalau kesadaran juga dalam batasan tertentu berupaya melakukan emansipasi atas kondisi materil. Karna itulah disebut dialektis, tak ada kondisi sosial yang betul-betul stagnan, ia mengalir bersama sejarah, termasuk dan terutama : CINTA.


14 Juni 2017.
Rayel, 23 Tahun.

Komentar

Postingan Populer