Belajar Teori
Pertanyaan
sepele seperti mengapa belajar penting, jika diutarakan pada banyak mahasiswa tingkat akhir bakal
jadi pertanyaan yang sia-sia, tidak substansial, meremehkan, comberan. Mahasiswa tingkat akhir ini
mungkin lebih berpikir praktis bahwa belajar berguna untuk menguasai
teori-teori sehingga bisa mudah menyelesaikan tugas akhir. Sama halnya juga
jika ditanyakan pada mahasiswa-mahasiswi baru HI yang berbahagia, bakal mudah
dijawab dengan rasa percaya diri. Bagi mahasiswa tahun pertama, jawabannya
mungkin akan lebih beragam; supaya banyak tahu, supaya jadi orang berguna,
supaya bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagainya. Atau kalau dia
kebetulan sudah pernah kuliah sebelumnya plus pernah membaca Marx atau Tan
Malaka, jawabannya bisa lebih rock n’
roll misalnya supaya bisa membangun kritik moral dan struktural pada
kapitalisme lanjut, atau bahkan supaya bisa menyusun strategi revolusi
proletar. Masya Allah.
Persamaan
yang bisa dan seharusnya ditarik dari beragamnya jawaban yang mungkin timbul,
adalah belajar berguna untuk menguasai teori-teori ilmu pengetahuan sekaligus
menguasai penggunaannya dalam membaca realitas. Dalam disiplin-disiplin ilmu
sosial termasuk disiplin HI, realitas yang jadi objek studi tentu adalah
masyarakat manusia dan hubungan-hubungan sosial.
Persoalan
yang jarang disadari, realitas sosial itu tidak sesederhana tampakannya. Jika
kita berhenti pada asumsi bahwa realitas adalah sejauh apa yang dapat kita
indrai, maka kita akan jatuh pada prasangka belaka. Manusia selalu punya
prasangka terhadap apapun. Kehidupan sosial itu sifatnya praktis, tidak
kontemplatif. Hal-hal terjadi di sekitar kita dan kita tak selalu merasa harus
membuka buku panduan atau textbook untuk
tahu mengapa hal tersebut terjadi.
Memang
apa yang empirik tampil sebagai sebuah fenomena aktual, namun untuk membacanya
diperlukan perangkat-perangkat analisa yang kompatibel dengan fenomena
tersebut. Inilah yang kita sebut kemudian sebagai ilmu sosial. Realitas sosial
sering menyembunyikan hubungan-hubungan sosial yang ada sehingga diperlukan
abstraksi atas realitas itu. Karna jika realitas sosial yang tampak adalah
realitas sosial itu sendiri, maka ilmu sosial tidak lagi diperlukan. Menghabiskan
waktu puluhan jam perkuliahan di kelas, ikut diskusi-diskusi yang diselenggarakan
pengurus himpunan dan membaca buku-buku teoritik bakal jadi mubazir. Perbedaan
pelajar ilmu sosial dan orang awam ketika membaca berita fenomena sosial di smartphone-nya adalah kemampuan
menjelaskan fenomena tersebut dalam kerangka teoritik.
Anjuran
yang terkandung dalam tulisan teramat singkat ini, adalah untuk mempelajari
teori-teori, ilmu sosial lengkap dengan konteks kemunculannya dalam sejarah,
lalu menggunakannya untuk membaca kondisi sosial sehari-hari. Jangan menganggap
remeh aktifitas membaca terus menerus sebagai kekurangan kreatifitas
berkegiatan. Justru membaca (dan berdiskusi) adalah prasyarat bagi
kegiatan-kegiatan berkualitas di lembaga kemahasiswaan dan dimanapun, bahkan
dalam politik praktis. Soekarno dan Hatta sang proklamator, Mao Tse Tung dan
Lenin pemimpin revolusi komunis di Cina dan Soviet, bahkan Hitler sekalipun,
semuanya pembaca buku yang tekun dan mereka juga menulis buku berisi
pandangan-pandangan filsafat dan atau politiknya. Terakhir, tak ada perjuangan
yang revolusioner tanpa teori yang revolusioner. Mari belajar.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, berilah masukan yang positif :-)