Positivisme dalam Sepakbola: Sebuah Pengabaian atas Subjektivitas
Dalam khasanah ilmu sosial, positivisme adalah suatu kecenderungan intelektual untuk membawa konsep dan teori-teori tentang masyarakat manusia menjadi suatu ilmu positif yang dapat menjelaskan gejala-gejala sosial. Tokoh penting yang mengusulkan positivisme ilmu-ilmu sosial adalah Auguste Comte. Apa yang diusulkan Comte kita tahu kemudian menjadi cikal bakal disiplin ilmu sosiologi hari ini. Menurutnya, ilmu sosial yang bebas nilai dan berjarak dengan objek penelitiannya (manusia dan masyarakat) juga dapat diciptakan sebagai ilmu positif (terukur) sebagaimana ilmu-ilmu alam (eksakta) seperti biologi, fisika atau matematika.
Kemudian hari positivisme ini lalu mendapat kritik karena dianggap mengabaikan sifat manusia yang selalu subjektif dalam memandang persoalan sosial. Itu karena manusia sebagai peneliti atau pengamat selalu punya nilai-nilai, ideologi, dan pengalaman tersendiri berkaitan dengan persoalan yang akan diamatinya. Hal ini lantas membawa pada konsekuensi bahwa pandangan, konsep, atau teori dalam ilmu sosial tidak pernah dapat berjarak dari objek yang ditelitinya. Kelompok intelektual yang dengan gencar mengkritik positivisme adalah para akademisi yang dikenal sebagai mahzab Frankfurt dengan teori kritisnya. Jika dalam positivisme sifat-sifat manusia dapat dikuantifikasi menjadi pola-pola tertentu dan angka-angka statistik, maka kaum kritis memandang bahwa cara terbaik memahami manusia adalah melalui pendekatan sejarah. Yakni mendalami karakteristik khusus dari setiap peristiwa sosial sesuai konteks sejarahnya.
Nah, dalam sepakbola hari ini sering muncul perdebatan tentang seperti apa gaya permainan tim yang ideal. Atau seperti apakah tim yang dikatakan pantas meraih gelar juara. Banyak orang cenderung sepakat bahwa gaya sepakbola di level tertingginya berwujud gaya sepakbola menyerang ditambah pertunjukan skill individu maupun secara kolektif dari para pemain tim. Mungkin gaya permainan Barcelona di musim era Pep Guardiola atau Manchester City musim ini (juga diasuh Guardiola) dianggap sebagai sepakbola dalam artian yang paling positif: sepakbola menyerang dan menghibur. Sepakbola defensive a la Mourinho adalah kebalikan dari teori ini. Dari mulai pandit berpengalaman sampai penonton layar kaca seringkali berkomentar negatif tentang gaya permainan Mourinho yang cenderung membosankan.
Akan tetapi, justru dalam sepakbola, apa yang ditunjukkan Mourinho dengan gaya permainan yang mengedepankan keseimbangan tim dan hasil akhir (meski hanya menang 1–0) adalah sebuah positivisme. Menilai kualitas tim sepakbola dalam pendekatan positivisme sesungguhnya akan selalu mengacu pada hal-hal yang dapat diukur secara pasti, terlepas dari penilaian subjektif pengamat sepakbola. Tak lain dan tak bukan hal yang pasti ini adalah hasil akhir ditambah konsistensi. Manchester United asuhan Jose Mourinho musim ini bisa saja kalah populer ketimbang Liverpool asuhan Jurgen Klopp. Liverpool dianggap menampilkan sepakbola menyerang yang menarik untuk disaksikan ketimbang gaya main MU yang hanya “parkir bus” saat melawan tim-tim besar. Namun jika kita bertolak dari penalaran positivisme, MU sesungguhnya tampil sangat baik musim ini. Dari 33 kali bertanding di liga, MU berhasil meraih 23 kali kemenangan, dan hanya seri dan kalah masing-masing lima kali. MU duduk di peringkat dua liga hanya di bawah Manchester City.
Pendekatan positivisme memang niscaya akan abai terhadap beberapa hal yang sifatnya subjektif, seperti selera penonton akan gaya permainan tim sepakbola. Namun positivisme menyediakan landasan kokoh bagi siapa saja yang ingin menilai kualitas permainan tim, yakni hasil akhir dan konsistensi. Siapa yang akan memuji kualitas tim Burnley yang dilatih Sean Dyche dari segi keindahan permainan? Bisa dibilang tidak ada. Permainan direct footballditambah kebiasaan untuk melancarkan umpan-umpan panjang langsung menuju striker cenderung dianggap membosankan dan kurang inovasi. Tapi bagaimana kemudian jika mereka kini duduk di posisi ke tujuh liga memperebutkan posisi untuk tiket ke liga eropa? Bukankah tim asuhan Dyche telah membuktikan bahwa dengan tanpa pemain berbanderol mahal, gaya permainan seperti itu mampu membawa mereka bersaing di liga inggris. Dalam pendekatan positivisme, Burnley musim ini menampilkan kualitas yang luar biasa baik. Jangan dilupa bahwa analisa positivisme dalam sepakbola akan bertolak dari hasil akhir dan konsistensi, sebagai kacamata dalam memandang seberapa baik kualitas tim sepakbola. Hasil akhir pertandingan dan posisi di klasemen adalah ukuran penilaian. Titik.
Kepastian dan keterukuran adalah konsekuensi logis dari positivisme. Maka dalam hal itu tim yang bermain membosankan, defensif, atau bahkan “parkir bus” tetaplah merupakan tim terbaik ketika ia mampu memenangkan kompetisi. Portugal di Euro 2016 mungkin saja tidak se-menghibur Prancis atau Jerman, tapi bagaimana kita akan mengkonfirmasi bahwa mereka bukan tim yang terbaik, padahal Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan dengan segala keterbatasannya, berhasil juara untuk pertama kali? Atau bagaimana kita bisa mengklaim bahwa Mourinho hanya tahu memainkan sepakbola negatif, ketika dalam karir kepelatihannya ia telah berulang kali mengalahkan tim dengan sepakbola menyerang itu, dan rutin mengangkat piala di akhir musim?
Positivisme memanglah seperti itu. Membuat kita harus melupakan selera umum. Tetapi di satu sisi menunjukkan basis penilaian yang terukur dan tak bisa dibantah.
Comeback Spesial United Batalkan Perayaan Gelar City! |
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, berilah masukan yang positif :-)